Selasa, 19 Mei 2009

KAJIAN TAFSIR DI PESANTREN

Oleh : Ahsin Sakho Muhammad

Pendahuluan.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren merupakan lembaga keagamaan yang menempatkan kajian kajian keagamaan sebagai basis utama pengajarannya. Disamping itu pesantren juga sebagai lembaga yang mendidik santri santri untuk bisa menjadi manusia yang menjunjung tinggi etika keagamaan. Dari dua sisi tersebut yaitu pendidikan akhlak dan pengajaran ilmu ilmu keagamaan, pesantren ingin mengarahkan santrinya untuk menjadi ulama dan orang orang yang mampu mewarisi risalah Nabi dan mengambil estafet moralitas keagamaan untuk membimbing masyarakat menuju ke masyarakat relijius yang menempatkan nilai nilai agama dalam kehidupan mereka. Dilihat dari aspek pendidikan, pesantren relatif telah mampu mencetak santri santri yang mempunyai tingkat moralitas yang cukup memadai. Mereka disegani oleh masyarakatnya. Hal itu dibuktikan dengan peranan mereka untuk memimpin berbagai macam upacara keagamaan dilingkungan mereka. Dilihat dari aspek pengajaran, pesantren -terutama yang salaf- tetap mempertahankan kurikulumnya sebagaimana apa yang diajarkan oleh sesepuh mereka terdahulu. Kajian kitab kuning merupakan menu harian yang tidak banyak tersentuh oleh perubahan zaman, baik dari segi materi maupun cara pengajarannya. Pengajaran kitab kuning dengan cara sorogan maupun bandongan merupakan ciri khas sebuah pesantren salaf. Tanpa itu ciri khas “salafiyah”nya menjadi hilang. Cara bandongan masih menempati peringkat pertama dalam pengajaran kitab kitab kuning. Kiai yang menangani cara ini memang harus menguasai betul seluruh aspek yang ada dalam satu kitab, baik dari segi susunan i’rabnya, maupun makna makna yang terkandung dalam sebuah kitab. Semakin besar sebuah kitab dan semakin rumit persoalan yang dikaji, semakin tinggi pula tingkat kemahiran seorang Kiai. Fenomena ini sangat menantang dan sekaligus membanggakan. Bagaimana tidak, kiai yang model ini seakan menjadi kamus arab yang berjalan. Hebatnya lagi mereka mampu menemukan kosa kata bahasa “jawa” untuk mengartikan semua kata yang ada dalam kitab kuning. Padahal kosa kata bahasa jawa sangat kerdil bila dibandingkan dengan kosa kata arab. Bukan Cuma itu saja, tapi Pak Kiai harus mempraktekkan ilmu nahwu/shorof, I’rab dan kajian balaghahnya setiap kali memberikan makna pada stu ungkapan dalam kitab kuning tersebut. Kekaguman kita akan semakin tinggi manakala seorang Kiai mampu membaca sebuah kitab yang besar dengan cara bandongan, dalam waktu yang relatif singkat. Seperti mengaji kitab “Sahih Bukhari” atau lainnya dalam satu bulan, Pada saat itu kondisi spiritual dan keilmuan Pak Kiai dan santri yang ikut pengajian tersebut betul betul dalam keadaan “on” terus. Hal ini betul betul mengagumkan. Sebuah fenomena yang langka di dunia islam. Sudah tentu keadaan semacam ini terjadi karena kecintaan yang mendalam terhadap ilmu agama.
Terhadap semua itu pesantren yang masih menerapkan model itu perlu kita apresiasi. Pada saat ini Kiai atau santri yang masih mengamalkan dan mengikuti pengajian model ini semakin hari semakin surut, kecuali beberapa pesantren besar yang masih eksis mempertahankan model “salafiyah” . Jika masih ada maka

Kajian Kitab kitab Klasik.
Kajian kitab salaf dan sering juga disebut sebagai kitab kuning merupakan proto type pesantren salafi. Dalam sebuah penelitian tentang “pergeseran Literatur di Pondok Pesantren di Indonesia” yang dilakukan oleh tim Litbang Depag baru baru ini (2004-2005), diperoleh kesimpulan bahwa pesantren pesantren salaf tidak banyak yang mengadakan perubahan pada kajian kitab klasik. Kitab kitab yang diajarkan pada masa kini tidak mengalami perobahan dengan apa yang dikaji pada masa lalu. Namun disisi lain sikap konvensional ini ada unsur positifnya. Pertama : pengkajian terhadap kitab kuning menunjukkan adanya tradisi kesinambungan sanad yang selama ini masih dianggap sebagai tradisi yang disegani. Kedua : Disamping nilai ilmiyah, nilai ketakwaan dan keulamaan penulis kitab kitab kuning selalu menjadi acuan di dunia pesantren. Disini unsur “barakah” tidak terelakkan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pesantrenlah yang masih terus memepertahankan tradisi pengajian kitab salaf. Pesantren masih banyak yang mengkaji kitab kitab Tafsir semcam tafsir “Ibn Katsir”,“Al-Khazin” dan lain lainnya. Begitu juga kitab kitab Hadis semacam Sahih Bukhari, Sahih Muslim dan lain sebagainya. Selain pesantren barangkali sudah tidak ada lagi yang mempertahankan tradisi mengkaji kitab kuning ini. Tidak disangkal lagi bahwa arus modernisasi menjadi penyebab banyak kalangan yang sudah tidak lagi mengaji kitab kitab kuning. Modernisasi tidak lagi mempersoalkan siapa pengarang satu kitab, yang penting adalah sistimatika, efesiensi waktu dan “instant”.
Kitab klasik terutama kitab kitab yang ditulis pada abad abad pertengahan, dari sisi materi masih menampakkan kekuatan ilmiahnya, walaupun dari sisi warna kekinian dan aktualitas sudah banyak yang ketinggalan. Pembaca harus pandai pandai memilah dalam membaca teks kitab kuning agar supaya tetap hidup dan aktual. Dari sisi penyajiannya kitab salaf juga dipandang oleh akademisi terasa ada kekurangan disana sini.

Kitab kitab tafsir yang diajarkan di pesantren.
Kitab kitab tafsir yang dikaji di pesantren hampir bisa dipastikan tidak banyak perbedaan antara satu pesantren dengan pesantren lainnya. Diantara kitab kitab tafsir yang dikaji adalah :

1.Tafsir Jalalain.
Tafsir “Al-Jalalain” adalah karya dua orang yaitu Al-Imam Jalaluddin Al-Mahalli (Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim bin Ahmad bin Hasyim Al-Mahalli, Al-Misri, Asy-Syafi’i (791 h/1389 M-864h) dan Jalaluddin Abdurrahman bin Kamaluddin, Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin bin Fakhruddin, Utsman bin Nashiruddin, Muhammad bin Saifuddin, Khadlir, Al-Khudlairi, Sayuthi (849 H/1445 M- 911 H). Tafsir ini merupakan menu utama kajian tafsir di pesantren. Dalam bahasa orang pesantren, tafsir ini penuh berkah, oleh karena itu banyak orang merujuknya. Bahkan seorang seperti Muhammad Abduh sering merujuk tafsir ini sebelum memberikan kuliah tafsir di Masjid Al-Azhar. Perhatian terhadap tafsir ini ditunjukkan oleh adanya pemberi hasyiyah seperti “Hasyiyah Ash-Shawi” dan Kitab Al-Futuhaat Al-Ilahiyyah karya Al-Jamal. Tidak dipungkiri lagi kedua pengarang tafsir ini adalah orang sufi yang wara’. Ada yang menjadikan tafsir ini sebagai “wiridan” dan dikaji ulang dari waktu kewaktu. Alasannya adalah bahwa kitab tafsir ini layak untuk menjadi konsumsi santri.
Dari segi kwantitas, tafsir ini tidak begitu tebal sehingga bisa dikhatamkan dalam waktu yang tidak begitu lama. Dari segi kwalitas materi, tafsir ini tidak begitu menukik, uraiannya sangat sederhana, bahkan nyaris seperti kamus gharib Al-Qur’an. Memang ada uraian Qira’at, I’rab, Sabab Nuzul, Nasikh-mansukh, dan lain sebagainya. Tapi semuanya itu diuraikan dengan redaksi yang sederhana sekali. Tidak ada atau tidak menonjol kecenderungan berfikir baik dalam segi madzhab fikih maupun akidah. Dari segi bahasa, tafsir ini terasa sederhana dan lumayan gampang untuk dicerna.
Dalam pandangan penulis tafsir ini memang sangat sederhana dibandingkan tafsir tafsir lainnya. Ada beberapa tafsir yang mengikuti model tafsir “Al-Jalalain” ini seperti tafsir yang ada pada mushaf mushaf terbitan masa kini seperti yang dikerjakan oleh “Na’im Al-Himshi” dari Syria, atau ringkasan tafsir Ibn Jarir Ath-Thabari, dan lain lainnya. Namun dibalik kesederhanaannya tafsir ini tidak mengedepankan persoalan persoalan kekinian, apakah persoalan fikih, kemasyarakatan, keilmuan (sains dan teknologi) dan lain sebagainya.
Tidak adanya kecenderungan berfikir ini menjadikan penulis menilai bahwa tafsir ini menjadi tafsir tahlili yang paling sederhana. Bahkan penulis bisa mengatakan bahwa tafsir Jalalaian adalah bentuk karya tafsir tahlili yang berada pada titik nadir yang terendah, setelah pada periode sebelumnya tafsir tahlili penuh dengan nuansa ensiklopedis, karena tidak adanya komentar dari penulis. Tapi hanya mensyarahi redaksi yang ada.
Tafsir ini dari satu sisi kurang bisa menggugah pembacanya untuk meneropong masyarakat kontemporer dengan kacamata Al-Qur’an. Banyaknya ayat ayat yang dinasakh dengan ayat qital /ayat saif menunjukkan bahwa tafsir ini masih terbawa oleh masa lalu yaitu diwaktu kaum muslim mampu menyudahi perlawanan kaum musyrikin. Padahal dalam kajian dewasa ini pe”nasakh”an satu ayat dengan ayat qital tidak lagi relevan, sebab begitu satu ayat di nasakh maka ayat tersebut tidak lagi bisa diamalkan, padahal setiap ayat harus bisa dioptimalkan pengamalannya dengan berbagai cara dan juga harus dilihat konteksnya. Teori “Al-Munsa’” yaitu setiap ayat harus dilihat situasi dan kondisinya, adalah yang paling cocok. Bagaimanapun juga tafsir ini merupakan cermin masyarakat masa itu. Kelihatannya masyarakat sudah jenuh dengan uraian yang berpanjang lebar, atau mereka tidak lagi bergairah dan tidak berminat membaca tafsir semacam itu.

2.Tafsir “Marah Labid” atau Tafsir Munir.
Nama lengkap tafsir ini adalah “At-Tafsir Al-Munir lima’alimittanzil Al-Musfir ‘an Wujuh Mahasin at-tta’wil”.Tafsir ini dikarang oleh seorang ulama Banten yaitu Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M) yang dikenal dengan Sayyid Ulama Al Hijaz. Tafsir ini tergolong masyhur. Bahkan pada masa kemunculannya tafsir ini dikenal juga oleh ulama di negeri arab sendiri. Di Indonesia terutama di pesantren, tafsir ini tidak kalah masyhurnya dengan tafsir Jalalain. Metodologinya tahlili. Uraiannya sederhana. Tapi lebih panjang dan lebih banyak dibandingkan dengan tafsir Jalalain. Jika tafsir “Jalalain” hanya menjelaskan kata kata muradif, maka pada tafsir “Marah Labid” Syekh Nawawi akan menjelaskan maksud ayat tersebut secara sederhana. Tidak banyak mendiskusikan persoalan. Bahkan jika mengetengahkan pendapat beliau tidak menyebutkan dalil setiap pendapat. Pengarang cenderung untuk tidak menarjihkan diantara pendapat tersebut. Uraian bahasa, cukup mendominasi. Unsur balaghah juga banyak, begitu juga ilmu nahwu, shorof, Qira’at, Rasm Usmani, dan lain sebagainya. (Lih. Badruzzaman, Dimyati, MA dalam “ Studi Kritis Kisah kisah Israiliyat dalam Tafsir Munir Karya Syekh Nawawi”, Tesis MA di IIQ, Jakarta, 2001). Beliau sengaja menyederhanakan tafsirnya, agar pembaca langsung memahami inti persoalan. Tanpa harus dibawa ke metode ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dalam hal periwayatan, tafsir ini banyak menukil hadis, perkataan sahabat dan tabi’in tanpa sanad. Dilihat dari sudut ini tafsir ini kombinasi dari tafsir riwayah dan dirayah. Sayangnya tafsir ini banyak mengemukakan riwayat israiliyat yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Dilihat dari aliran pemikiran, tafsir ini cenderung beraliran salaf yaitu berkhidmah kepada nash. Inilah yang membedakan antara tafsir dengan metode “Tahlili” dengan “Maudlu’I” Pada metode tahlili penafsir pasif, hanya menunggu apa yang diminta oleh teks. Berbeda dengan tafsir Maudlu’i dimana penafsir aktif mencari ayat ayat yang mendukung topik yang dipilihnya. Disamping hal hal diatas, tafsir ini tidak ada sentuhan kemasyarakatan, begitu juga aliran pemikiran lainnya.

3.Tafsir Khazin.
Tafsir yang bertajuk “Lubab at Ta’wil”. Pengarangnya adalah ‘Alauddin, Abul Hasan, Ali bin Muhammad bin Ibrahim Asy-Syihi Al-Baghdadi. Dikenal dengan nama “Al-Khazin”.(678-741 H/1279-1341 M).
Tafsir ini sebagaimana diakui sendiri oleh pengarangnya merupakan ikhtisar atau ringkasan dari tafsir Al-Baghawi (438-516 H) yang berjudul “Ma’alim At-Tanzil”Tafsir Baghawi sendiri merupakan ringkasan dari Tafsir Ats-Tsa’labi yang bertajuk “Al-Kasyf wal Bayan”.
Harus diakui bahwa tafsir ini banyak faedahnya terutama dalam analisa bahasa, penyebutan berbagai pendapat dan alasannya masing masing. Begitu juga banyaknya hadis hadis yang beliau nukil dari kitab Al-Humaidi yang menggabungkan hadis hadis Bukhari Muslim, dan dari kitab Jami’ Al-Ushul karya Ibn Al- Atsir. Uraian tentang madzhab fikih juga cukup panjang lebar. Begitu juga dengan kisah kisah baik pada masa Nabi sampai kisah israiliyat baik yang bisa dipertanggung jawabkan atau yang tidak. Disayangkan bahwa Al-Khazin tidak banyak komentar terhadap hal ini. Uraian tentang kisah ini menempatkan tafsir ini sebagai tafsir yang mempunyai kecenderungan “qasasi”. Kecenderungan tasawwufnya terlihat dengan banyaknya nasehat nasehat atau banyaknya hadis hadis yang berisi tentang targhib dan tarhib.(Lihat. Adz-Dzhabi, At-Tafsir Wal Mufassirun, I/hal 220, Maktabah Wahbah, Mesir,2000, dan Al-Iyazi, Muhammad Ali, “Al-Mufassirun, Hayatuhum Wa manhajuhum”h.598, Iran, 1414 h.

Ketiga kitab itulah yang masih banyak dikaji dan dibaca dikalangan pesantren. Memang ada juga yang membaca tafsir “Ibnu Katsir” “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim” atau Al- Baidlawi “Anwaruttanzil wa Asrarutta’wil”, bahkan tafsir ensiklopedis “Al-Bahrul Muhith”karya Abu Hayyan, ada yang membacanya tapi tidak sebanyak tiga tafsir yang disebutkan diatas.

Pandangan penulis.
Dilihat dari uraian yang penulis kemukakan, ternyata kitab kitab tafsir yang dikaji di beberapa pesantren adalah kitab kitab tafsir yang ditulis pada abad ke 7 hijrah (Al-Khazin) abad 10 h (sayuthi) dan akhir abad 19 masehi atau awal abad 14 (Nawawi). Pada abad abad tersebut ditengarai sebagai abad kelesuan keilmuan islam. Karya yang ditulis pada abad abad tersebut tidak banyak yang mempunyai orsinilitas. Pasalnya uraiannya tidak banyak berbeda dengan karya pendahulunya. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah karangan adalah cermin dari masanya.
Jika dilihat dari materi, ketiga kitab tafsir tersebut tidak banyak memberikan sorotan terhadap fenomena masyarakat pada masa itu (ijtima’i) atau hal hal yang bisa menggugah semangat untuk kembali kepada Al-Qur’an dalam menangani masalah masalah sosial. Inilah kritikan yang banyak dikemukakan oleh Muhammad Abduh terhadap beberapa tafsir pendahulu dan dikatakannya sebagai tafsir yang sudah menjauh dari tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an yaitu sebagai kitab hidayah.


Metode Pengajaran Tafsir yang diinginkan.
Kajian kitab tafsir di pesantren masih terbatas pada kajian teks yaitu membaca teks tafsir salaf. Sebagian kiai atau ustadz di pesantren hanya membaca teks kitab tafsir secara bandongan sebagaimana memperlakukan kitab kitab salafi lainnya, tanpa ada penjelasan lebih lanjut.
Sebenarnya cara model bandongan atau sorogan bisa saja diteruskan karena pertama : hal tersebut merupakan teknis atau metode pembelajaran dan kedua : masih belum ada cara lain yang mampu menggantikan kedua model tersebut, khususnya untuk kalangan pesantren. Kitab kitab yang dikaji juga bisa memakai kitab kitab salaf sebagaimana ketiga kitab diatas, namun masalahnya bagaimana cara kita mengajarkan tafsir kepada para santri/ apakah hanya cukup dengan membaca teks dan memaknainya ? atau perlu ada inovasi baru? Menurut hemat penulis al yang perlu diperhatikan dalam pengajaran tafsir masa kini ialah :
Pertama :Kajian kebahasaan, baik mufradat, i’rab, qira’at, maupun kajian balaghah.
Kedua: Munasabah antara satu ayat dengan ayat sebelumnya.
Ketiga:Menguraikan kandungan satu atau sekelompok ayat secara global.
Ketiga: Menguraikan tentang beberapa pendapat para ulama dan alasan dari masing masing pendapat dan jika mampu ada tarjih. Cara begini bisa memberikan sifat kritis.
Keempat:Menghubungkan setiap kajian dengan kondisi masa kini. Bagaimana Al-Qur’an bisa memberikan solusi terhadap setiap persoalan kehidupan. Untuk hal ini ada baiknya dilakukan pengenalan metode tematik, sehingga solusi yang dikemukakan tidak parsial tapi utuh.
Kelima: mengambil kesimpulan dan pelajaan yang bisa dipetik dari uraian yang ada. Untuk hal ini bisa kita lihat pada tafsir Al-Munir karya Wahbah Az- Zuhaili, atau Aysaruttafasir karya Syeikh Abu Bakar Al-Jazairi, atau Al-Maraghi.
Seorang guru atau kiai mutlak perlu juga untuk membaca refferensi yang lain baik kitab kitab tafsir masa kini seperti Al-Maraghi, Al-Qasimi, Al-Munir karya Wahbah Azzuhaili, Aysaruttafasir, Asy-Sya’rawi, At-Tahrir wat Tanwir karya Ibnu ‘Asyur, dan lain lainnya. Semuanya bertujuan untuk menambah wawasan agar ada sentuhan hida’i terhadap situasi masa kini. Kisah kisah israiliyat yang tidak bisa dipertanggung jawabkan mestinya tidak dijadikan konsumsi bagi santri, karena hanya meninabobokan saja. Kajian yang njlimet yang atau menukik yang tidak banyak hubungannya dengan kandungan satu ayat mestinya hanya untuk di muthala’ah saja bukan untuk dijelaskan, dan bukan untuk dikonsumsi.
Tidak kalah pentingnya adalah santri perlu diajarkan pengantar ilmu tafsir yang mencakup sejarah tafsir dari masa kemasa, aliran aliran dalam tafsir, begitu juga metodologi penafsiran dan metodologi penulisan tafsir seperti tahlili, maudlu’i, muqaran dan Ijmali. Kajian kajian ulumul Qur’an seperti kitab “Al-Itqan” karya Imam Sayuthi perlu diajarkan agar santri bisa mengetahui seluk beluk Al-Qur’an dari segi sejarah Al-Qur’an, penulisannya, variasi bacaannya dan lain lainnya.
Dengan berbekal kajian kajian tersebut diharapkan santri pada masa kini bisa tergugah untuk mengkaji tafsir secara lebih komprehensip lagi, “njamani” dan kembali menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab “hidayah” sepanjang masa.
Muhammad Abduh sebagaimana dinukil oleh Rasyid Ridla dalam tafsir “Al-Manar”menegaskan:
" التفسير الذى نطلبه هو فهم الكتاب من حيث هو دين يرشد الناس الى ما فيه سعادتهم فى حياتهم الدنيا وحياتهم الآخرة فان هذا هو المقصد الأعلى منه , وما وراء هذا من المباحث تابع له أو وسيلة لتحصيله " ( المنار : 1/17)

Bahwa tafsir yang diinginkan adalah memahami Al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang membawa ajaran agama yang bisa memberikan petunjuk kepada manusia untuk mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat. Pembahasan selain itu dianggap sekunder.

Penutup.
Teks teks Al-Qur’an memang kelihatan mati, tapi dibalik teks teks tersebut terdapat energi yang sangat dahsyat untuk bisa membangun peradaban sebuah bangsa. Sejarah telah mencatat bahwa pada awal kemunculannya Al-Qur’an telah mampu mengerakkan sebuah revolusi baik akidah, sosial, keilmuan, seni dan budaya. Jika hal tersebut telah terbukti pada masa lalu, maka hal ini mestinya juga bisa terealisir pada masa kini. Persoalannya adalah terletak pada siapa yang menjalankan peran ini. Pemahaman terhadap agama secara kaffah, semangat menggali api Al-Qur’an dengan tujuan ‘izzul islam wal muslimin secara ikhlas, adalah kunci dari keberhasilan dalam sosialisasi Al-Qur’an pada kehidupan manusia dewasa ini.

Kamis, 14 Mei 2009

Tentang Saya di Blog Seorang Teman

Pakar Ilmu-ilmu Al-Quran

Ia pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Quran. Lulus sebagai doktor dari sebuah universitas di Madinah dengan cumlaude, ia mengasuh pesantren di Cirebon, untuk mencetak para penghafal Al-Quran.

Bagaimana perasaan Anda jika di malam hari yang gelap, dalam perjalanan melewati gurun yang tandus, sepi bahkan kosong, kendaraan Anda tiba-tiba mogok? Takut, tegang, cemas, tentu menyelimuti perasaan Anda. Bagaimana pula jika tak lama kemudian ada orang yang menolong, membawa Anda dan mobil Anda ke bengkel tanpa mengharapkan apa-apa? Tentu, tak terbayangkan perasaan Anda: lega dan gembira.

Itu hanya salah satu dari sekian banyak kemudahan yang dialami oleh Dr. Ahsin Muhammad. Dari berbagai pengalaman hidupnya, ia semakin meyakini, pertolongan Allah akan hadir bagi mereka yang senantiasa menjaga hubungan dengan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. “Barang siapa yang selalu mengingat Allah dalam keadaan senang, Allah akan mengingatnya ketika ia dalam keadaan susah,” ujarnya mengutip sebuah hadits.

Tamu kita kali ini ialah pendiri dan pengasuh Ma`had Darul Qur’an di Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Setiap Ahad pagi ia menyelenggarakan pengajian qiraat warasy, yang diikuti para guru Al-Quran dari wilayah Cirebon dan sekitarnya, dan telah berlangsung sekitar tiga bulan. Sebelumnya, materi yang diberikan mencakup semua qiraat mutawatir yang dikenal sebagai qiraat sab`ah. Tetapi karena dipandang terlalu berat, dan menyulitkan mereka yang belum memiliki bekal yang memadai, pengajian ini lalu difokuskan pada salah satu qiraat saja. Dan itu adalah qiraat warasy.

Di masa sekarang, model pengajian yang memberikan materi pendalaman berbagai macam qiraat seperti ini terbilang langka. Mereka yang berminat mempelajarinya pun tidak banyak. Padahal, materi ini sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga cara membaca Al-Quran yang tepat. Karena itu, para peserta merasakan manfaatnya – yang kemudian mereka kembangkan di tempat masing-masing.

Berkembangnya pengajian mengenai qiraat dan pendalaman ilmu-ilmu Al-Quran merupakan salah satu obsesinya yang terus diupayakan secara serius. Menurutnya, menjaga kemurnian Al-Quran merupakan tugas mulia. Segala sesuatu yang dapat merusak atau setidaknya mengganggu kemurnian Al-Quran harus dicegah. Karenanya, peredaran buku-buku Yasin Fadhilah yang cara penulisannya tidak membedakan mana bagian yang merupakan ayat Al-Quran dan mana yang bukan, dikecamnya.

Rektor IIQ
”Mestinya Yasin Fadhilah seperti itu ditarik dari peredaran, kemudian direvisi. Penerbit selama ini sembrono mencampuradukkan dan menyamakan ayat Al-Quran dan doa. Seharusnya dibedakan penulisannya, agar jelas mana yang Al-Quran dan mana yang bukan,” katanya.

Menyinggung metode pengajaran Al-Quran, menurutnya selama ini sudah berjalan baik. Selain itu, banyak pesantren yang membuka program menghafal Al-Quran. Kelemahannya, para santri berhenti hanya pada menghafal Al-Quran, tidak berusaha mengembangkan kemampuannya dengan mendalami ilmu Al-Quran, termasuk berbagai qiraatnya.

Dia memang pakar dalam bidang qiraat dan ilmu-ilmu Al-Quran. Itu sebabnya ia lalu diserahi berbagai tugas penting. Sejak 2 November 2005, ia menjabat rektor Institut Ilmu Al-Quran (IIQ), Jakarta, perguruan tinggi yang mencetak para ahli Al-Quran. Posisi ini sebelumnya diduduki tokoh-tokoh yang terkenal pakar di bidang ilmu-ilmu

Al-Quran, seperti Prof. K.H. Ali Yafie (2001-2005), sementara rektor sejak IIQ berdiri adalah Prof. H. Ibrahim Hosen (1977-2001).
Bukan itu saja tugas yang diemban pria yang tenang, santun, dan ramah ini. Kini ia juga dipercaya sebagai ketua Tim Revisi Terjemahan dan Tafsir Al-Quran Departemen Agama, yang beranggotakan beberapa pakar ilmu Al-Quran, seperti Prof. Dr. H. Huzaimah T. Yanggo, Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, Prof. H. Ali Mustafa Ya’qub, Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, dan beberapa pakar lain. Tim ini telah bekerja sejak 2004 dan diperkirakan akan menuntaskan tugas mereka pada 2007.

Keahliannya dalam ilmu Al-Quran membawa berkah tersendiri. Selama beberapa tahun belakangan, setiap Ramadhan ia diundang ke Inggris untuk menjadi imam shalat Tarawih di London dan kota-kota lainnya. Meski begitu ia tetap tinggal bersama keluarga di Cirebon. Setiap minggu ia bolak-balik Jakarta-Cirebon. Senin sampai Kamis ia di Jakarta, hari-hari lain ia habiskan di Cirebon untuk mengajar di pesantren.

Putra pasangan K.H. Muhammad dan Nyi Umi Salamah ini dilahirkan di Arjawinangun, Cirebon, pada 21 Februari 1956. Sejak kecil ia telah menunjukkan bakatnya dalam ilmu-ilmu Al-Quran. Ketika masih duduk di kelas IV SD dan belum lagi dikhitan, ia telah hafal tiga juz Al-Quran, yakni juz 28, 29, dan 30. Karena itu kakeknya dari pihak ibu, K.H. Syathori, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun, sangat menyayanginya.

Lingkungan Religius
”Ketika saya dikhitan, beliau yang mengurusi semuanya. Saya juga diberi pakaian yang berbeda dari yang lain. Beliau memang sangat berkeinginan, di antara anak-anak atau cucu-cucunya banyak yang hafal Al-Quran. Karena itu, bila ada cucu yang datang dan mencium tangannya, selalu ditepuk-tepuk dadanya sambil berucap, ‘Nanti, di sini ada Al-Quran, ada hadits, ada Alfiyah (salah satu kitab standar ilmu nahwu)’,” tuturnya mengenang sang kakek.

Meskipun tak sempat mengalami masa dewasa sebagian besar cucu-cucunya, apa yang diidam-idamkan oleh sang kakek akhirnya menjadi kenyataan. Ahsin dan ketiga saudara perempuannya, semuanya hafal Al-Quran. Sedang empat saudara laki-lakinya hafal beberapa surah Al-Quran. Ketika kakeknya wafat, Ahsin masih duduk di bangku SMP.

Saat sang kakek masih hidup, Ahsin sering menemaninya mengimami shalat berjamaah. Terkadang ia juga ikut mendengarkan apabila kakeknya membacakan kitab di pengajiannya. “Hanya nguping, seperti anak-anak yang lain,” ujarnya. Meski demikian, ia mendapat banyak hal penting dari kehidupan keseharian sang kakek, seorang ulama yang di masa hidupnya sangat disegani dan dihormati. Menurutnya, sang kakek berjasa menciptakan lingkungan yang religius, yang mencintai ilmu dan ulama. Kakeknya seorang penyabar, mempunyai perhatian pada para santri, dan hampir tidak pernah marah.

Menurutnya resep menghafal Al-Quran ialah doa orangtua yang benar-benar sangat mengharapkan anaknya dapat menghafal Al-Quran. Orangtua yang demikian niscaya akan selalu bermohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Tentu doa yang demikian kemungkinan diterimanya lebih besar. Karena itu langkah si anak selanjutnya untuk mewujudkan harapan orangtua akan lebih mudah. Selain itu harus ada usaha yang maksimal ketika membimbing anak untuk menghafalkannya.
Ayah lima anak ini menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD dan SMP Arjawinangun. Sedangkan dasar-dasar ilmu agama ia pelajari di pesantren milik keluarganya. Selama tiga tahun sejak 1970 ia melanjutkan pelajaran di Pesantren Lirboyo, Kediri, sambil belajar di SMU. Sejak lama, Pesantren Lirboyo memang didominasi oleh para santri asal Cirebon dan sekitarnya.

Di pesantren terkemuka itu ia belajar fiqh dan ilmu-ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, dan sebagainya. Sementara di saat libur panjang ia menimba ilmu di pesantren lain. Antara lain, ia pernah mengaji tabarruk kepada K.H. Umar Abdul Manan (Solo) dengan menyetorkan hafalan-hafalan Al-Qurannya. Meski tidak lama belajar kepadanya, tidak sampai dua bulan, ia merasa sangat beruntung, karena bisa memperoleh syahadah sanad dari sang guru.

Ponpes Krapyak
“Tidak semua orang – termasuk para santri yang sudah lama belajar kepada beliau – yang bisa mendapatkannya,” ujarnya. Sertifikat sanad dari Kiai Umar memang sangat didambakan. Dengan sertifikat itu terjaminlah bacaan yang benar, bagus, dan fasih. Juga menunjukkan bobot intelektualitas dan tanggung jawab sebagai seorang hafizh Al-Quran.

Keinginanannya yang kuat untuk mendalami Al-Quran membawanya meneruskan belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta (1973- 1976). Ia juga sempat belajar kepada K.H. Arwani (Kudus). Tetapi ketika baru berjalan sekitar dua bulan, ia diminta pulang ke Cirebon untuk menyiapkan keberangkatannya ke Makkah. “Meski demikian, bagi seorang santri, sesingkat apa pun masa belajarnya, ia harus bisa menyerap berbagai ilmu, termasuk akhlak dan keteladanan gurunya,” katanya.

Bulan Agustus 1976 menandai era baru dalam hidupnya. Ia berangkat ke Arab Saudi untuk mendalami ilmu-ilmu agama sebagaimana cita-cita orangtuanya. Mula-mula ia belajar di Makkah. Sekitar satu tahun, 1976-1977, ia mengaji Al-Quran di Masjidil Haram di bawah bimbingan Syekh Abdullah Al-`Arabi, seorang Mesir yang didatangkan oleh Jamaah Tahfizh Al-Quran. Di Masjidil Haram memang banyak kegiatan, salah satunya dikoordinasikan oleh lembaga tersebut.
Ketika itu yang memimpin lembaga tersebut ialah Syekh Shalih Al-Qazzaz, mantan sekjen Rabithah `Alam Islami. Yang juga banyak berperan di lembaga ini ialah Syekh Ibrahim Sa`d, seorang Mesir yang mengatur metode menghafal Al-Quran. Masa itu merupakan kebangkitan Tahfizhul-Qur’an di Arab Saudi. Hal ini tidak terlepas dari partisipasi para masyaikh qurra’ (guru-guru para pembaca Al-Quran) yang berasal dari Mesir, baik di Makkah, Jeddah, Madinah, maupun yang lainnya.
Pengajian di Masjidil Haram ia ikuti pagi hari, sedang sore harinya ia menuntut ilmu di Markaz Ta`lim al-Lughah al-`Arabiyyah. Karena sudah hafal Al-Quran, ketika belajar ia hanya “menyetor” hafalan dan mendalami bacaannya. Di akhir tahun, ia mengikuti ujian dan lulus, mendapat syahadah yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dapat membaca Al-Quran secara hafalan dari awal hingga akhir.

Menulis Tahqiq
Pada 1977 ia berangkat ke Madinah al-Munawarah untuk mengikuti kuliah di Fakultas Kulliyatul-Qur’an wa Dirasah Islamiyyah dari Al-Jami`ah Al-Islamiyah. Di sini ia tak mengalami kesulitan berarti, semua berjalan lancar tanpa hambatan. Apalagi ia mendapat beasiswa 200 dolar atau 775 riyal per bulan. Pemberian beasiswa itu, selain sebagai penghargaan bagi mereka yang mempelajari dan menghafal Al-Quran, juga untuk memotivasi para mahasiswa yang kuliah di fakultas tersebut.

Selepas menamatkan pendidikan kesarjanaan, ia melanjutkan ke program pascasarjana di universitas yang sama mengambil Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Quran, selesai pada 1987 dengan tesis Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an. Sedang untuk disertasi ia menulis tahqiq (menulis dan meneliti kembali) kitab At-Taqrib wal-Bayan fi Ma`rifati Syawadzil-Qur’an, karya Ash-Shafrawi, ulama asal Iskandariyah, Mesir, kelahiran 636 H/1216 M.

Dan akhirnya ia meraih gelar doktor dengan yudisium Mumtaz Syaraful ‘Ula (cumlaude) pada 1989. Praktis selama 12 tahun, sejak 1977, ia menghabiskan masa mudanya di Jam’iyyah Al-Islamiyyah, Madinah. Di antara teman dari tanah air yang belajar di sana tapi beda angkatan adalah Hidayat Nur Wahid (ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Salim Seggaf Al-Jufri (dubes RI di Arab Saudi). Usai belajar di Madinah, ia kembali mengajar di Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, yang diasuh oleh pamannya, K.H. Ibnu Ubaidillah.

Penguasaannya yang mendalam tentang ilmu-ilmu Al-Quran menarik perhatian banyak kalangan. Maka pada 1992, ia diajak oleh K.H. Syukron Makmun, pengasuh Pondok Pesantren Darul Rahman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk ikut mendirikan Institut Islam Darul Rahman. Pada tahun itu juga ia mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) dan di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri, UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beberapa tahun kemudian ia diangkat sebagai pengajar tetap di IAIN hingga kini.

Di tengah kesibukannya mengajar, baik di Cirebon, Jakarta, maupun di luar negeri, ia masih berusaha untuk merampungkan buku tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sebagai salah satu syarat untuk pengangkatannya sebagai guru besar. ”Sudah selesai saya tulis, tinggal dibukukan,” ujarnya. Kita tunggulah terbitnya buku penting karya pakar Al-Quran ini.

Sumber: ajisetiawan.blogspot.com

Metodologi Penyusunan Kurikulum Tafsir- Hadis Yang Berwawasan Internasional

KH. DR. Ahsin Sakho Muhammad

Pendahuluan.
Dalam arus globalisasi yang sedang melanda dunia dewasa ini hampir semua sisi kehidupan terkena imbasnya termasuk didalamnya dunia pendidikan. Indikator dari pengaruh globalisasi dalam bidang pendidikan adalah munculnya lembaga lembaga pendidikan yang berwawasan Internasional, mulai dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Lembaga lembaga yang berwawasan Internasional tersebut adakalanya meracik sendiri kurikulumnya atau mengadopsi kurikulum dari lembaga di Luar Negeri dan adapula yang bekerjasa sama dengan lembaga semisal di Luar Negeri dalam berbagai macam bentuknya seperti Tween Degree sebagaimana yang dilakukan oleh salah satu Universitas di Malaysia atau Singapore dengan Melbourne University dan lain lainnya.
Dalam kasus Indonesia sudah banyak lembaga pendidikan yang mempunyai wawasan Internasional baik dari pendidikan umum maupun islam. Sekolah sekolah umum karena pendanaannya yang luar biasa besar dan peluang yang menjanjikan bagi lulusannya dengan cepat merebut pangsa pasar di Indonesia. Sementara lembaga pendidikan islam masih belum kentara. Salah satu contoh soal lembaga luar yang membuka cabang di Indonesia adalah LIPIA (lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab). Semua kurikulumya diambil secara penuh dari Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah di Riyadl Saudi Arabia. Sistem pengajarannyapun juga demikian.
Wawasan Internasional.
Pengertian institusi berwawasan Internasional bisa berarti sebuah lembaga yang mempunyai sarana dan prasana yang memadai, sistim kerja yang bagus, kurikulum yang menjanjikan, dosen yang berkwalitas, mahasiswa yang mempunyai kapabilitas tertentu setelah melalui saringan yang cukup ketat, iklim keilmuan yang kondusif, punya jaringan Internasional dan reputasinya diakui pada tingkat internasional. Untuk menuju kepada kondisi ini maka sebuah institusi harus mempunyai rancangan strategis dan matang, punya cadangan biaya operasional yang cukup dan didukung oleh SDM yang handal yang sanggup bekerja secara full time di lembaga yang bersangkutan.


Sarana dan Prasarana.
Institusi yang berwawasan internasional tidak mesti mempunyai bangunan yang mewah dan modern. Banyak perguruan tinggi di India diakui reputasinya di dunia internasional tapi dilihat dari segi bangunan fisiknya tidak menampakkan kemewahan dan modern. Namun jika melihat banyaknya mahasiswa yang melakukan penelitian, penuhnya perpustakaan oleh pengunjung, hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal yang diakui oleh dunia internasional, walaupun dengan kwalitas kertas buram, situasi dan iklim keilmuan yang kondusif, maka institusi tersbut sudah bisa dikatakan institusi yang berwawasan internasional. Pendeknya India lebih mementingkan substansi daripada penampilan lahiriah. Masalahnya adalah bagaimana Perguruan Tinggi Islam di Indonesia lebih memperhatikan kepada hal hal yang bersifat substansial ini daripada penampilan lahiriah.
IT atau teknologi informasi sudah tentu merupakan hal yang sangat penting dalam institusi yang berwawasan internasional, apalagi pada alam globalisasi saat ini. Namun harus dilihat juga bahwa IT secanggih apapun harus didukung oleh sistim pembelajaran yang intensif yang mengarahkan para mahasiswa untuk bisa selalu menggunakan IT. Tanpa adanya sistim pembelajaran yang memadai hanya akan menjadikan alat alat yang canggih itu sebuah onggokan alat yang tidak berfungsi dengan baik. Para pemikir islam yang berwawasan internasional seperti Syekh. Abu Al-Hasan Ali An-Nadwi, Maududi, Yusuf Qardlawi dan lain lainya besar kemungkinan belum banyak menggunakan IT sebagaimana yang kita ketahui sekarang. Namun mereka mempunyai metode berfikir yang berwawasan global, jadilah karya mereka menjadi rujukan dan monumental.
Bahasa Asing.
Persoalan bahasa asing menjadi persoalan tersendiri. Bahasa asing mestinya menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari institusi yang berwawasan internasional terutama bahasa inggris dan bahasa arab bagi institusi keislaman. Namun demikian bukan berarti pengantar di kelas harus dengan kedua bahasa tersebut. Bisa saja pengantar di kelas masih menggunakan bahasa Indonesia, tapi mahasiswa sudah mempunyai kehalian memahami kedua bahasa tersebut. Dengan demikian maka institusi ini masih tetap berpijak pada ranah Indonesia sebagai bentuk empati nasionalisme, sementara buah pikiran yang dihasilkan oleh institusi tersebut berwawasan global. Apa yang dilakukan Jepang dengan tetap berpijak pada kearifan lkal, nasionalisme yang tinggi, tidak mengurangi pengakuan internasional kepada negara tersebut. Begitu juga dengan China, Taiwan dan lain lainnya.
Kurikulum Tafsir.
Sebagaimana diketahui sebuah kurikulum dirancang agar sesuai dengan Visi, Misi dan Tujuan dari sebuah institusi pendidikan. Menurut hemat penulis tujuan kurikulum dalam prodi Tafsir/Hadis pada program sarjana strata satu secara umum adalah:
“ agar mahasiswa bisa menjabarkan ayat ayat Al-Qur’an kedalam konteks kehidupan dewasa ini, sehingga Al-Qur’an bisa terus berperan serta dalam membimbing manusia ke jalan yang diridloi Allah”.
Sedangkan tujuan secara khusus adalah agar mahasiswa bisa :
1. memahami bagaimana cara menafsirkan Al-Qur’an.
2. mengetahui kaidah kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3.mengetahui ilmu bantu yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3.mengetahui beragam aliran dalam tafsir Al-Qur’an dan metodologinya.
4.mengetahui nama nama kitab tafsir, pengarangnya, masa penulisannya, dan tempat dimana kitab kitab tersebut ditulis.
4.bisa mengambil pelajaran dan kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan.
5.mampu menghubungkan antara ayat yang sedang ditafsirkan dengan situasi dan kondisi saat ini.

Untuk itu maka kurikulum yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1.Ulumul Qur’an dan Ushul Tafsir
Perlu diketahui bahwa komponen Ulumul Qur’an bisa terbagi menjadi 4 macam saja yaitu :
A.hal hal yang menjadi penguat bahwa AlQur’an adalah Kalamullah. Dalalm hal ini maka yang perlu dipelajari adalah :
a.Wahyu dan sejarah penulisan wahyu tersebut.
b.kemukjizatan Al-Qur’an.
B.bab tentang bagaimana cara membaca teks Al-Qur’an. Pembahasannya tercakup dalam Ilmu Qira’at dan permas’alahannya.
C.bab tentang bagaimana cara memahami teks Al-Qur’an. Pembahasanya tercakup dalam Ilmu Tafsir. Kajian tentang Ilmu Tafsir ini bisa terbagi menjadi dua bagian yaitu Ilmu kebahasaan dan Ushul Fikih.
D.bab yang menjadi kelengkapan. Seperti Fadla’il Al-Qur’an, Khawasshshhul Qur’an dan lainsebagainya.
Dari beberapa komponen dasar diatas bisa dipilih mana yang komponen yang punya bobot yang bisa diajarkan..
2.dirasat kutub tafsir. Atau kajian terhadap kitab kitab tafsir, dalam berbagai macam alirannya, baik manqul atau ma’qul.(manahij al-mufassirin). Dalam tatanan ini mahasiswa perlu diajak untuk mempelajari beberapa tafsir yang bisa mewakili sebuah aliran
3.tafsir tahlili. Yang dibahas disini adalah bagaimana teknik menafsirkan ayat ayat Al-Qur’an secara tahlili secara tuntas. Ayat yang dipilih adalah beberapa ayat tertentu saja semisal ayat ahkam.
4.tafsir maudlu’i. yaitu memilih tema tema tertentu baik yang ada pada Al-Qur’an atau dari kenyataan yang ada dalam masyarakat asalkan dibahas dengan cukup oleh Al-Qur’an. Sistimatikanya sesuai dengan sistimatika dalam tafsir maudu’i.
5.ad-Dakhil. Yaitu hal hal yang merasuk dalam tafsir Al-Qur’an yang berasal dari luar islam seperti israiliyat. Kisah kisah yang maudlu’ah.
6.syubuhat haulal qur’an. Yaitu beberapa lontaran yang bernada memojokkan Al-Qur’an pada semua seginya. Dalam kajian ini mahasiswa diajak untuk bisa memahami lontaran lontaran tersebut dan bagaimana mengkanternya.
7.balagatul Qur’an. Yaitu kajian sastrawi terhadap ayat ayat Al-Qur’an. Pada tataran ini kajian balagatul Qur’an bisa dimasukkan dalam komponen bahasa arab yang diajarkan pada semester semester awal.
8.i’jaz Al-Qur’an. Term ini akan lebih bagus diajarkan pada satu mata pelajaran tersendiri.


Kurikulum Ilmu Hadis.
Tujuan umum yang hendak dicapai dalam kurikulum Ilmu Hadis adalah : agar mahasiswa mampu menjabarkan hadis hadis nabi dalam konteks masa kini, sehingga hadis nabi bisa terus memberikan pencerahannya dalam kehidupan masyarakat untuk mencari ridla Allah”.
Sedangkan tujuan khususnya adalah :
1.mahasiswa mampu memahami hadis hadis nabi dan menjabarkannya dalam kehidupan masa kini.
2.mahasiswa mengetahui seluk beluk tentang hadis baik dari segi riwayah dan dirayah.
3.mahasiswa mengetahui cara mengistinbatkan hukum atau pelajaran tentang kehidupan sosial (fiqhul hayat wal ahkam) atau lainnya.
4.mahasiswa mengetahui kitab kitab hadis yang masyhur, metodologinya dan karakteristiknya masing masing.
6.mahasiswa mengetahui “syubuhat” tentang hadis dan mampu menjawabnya.
7.mahasiswa mampu mentakhrij hadis dan bisa mengetahui kesahihan satu sanad dan kelemahannya.
Kurikulum yang bisa menunjang tuuan tersebut adalah sebagai berikut :
1.Musthalah Hadis atau Ulumul Hadis.
2.Dirasat Kutub Al-Hadis.
3.Hadis Tahlili dalam hal ini diusulkan Hadis Ahkam. Pada tataran ini dikaji bagaimana cara menjelaskan hadis, baik dari segi sabab wurud hadis, kosa kata, komentar para ulama dan bagaimana mengistimbatkan hukum dari hadis yang sedang dikaji.
4.Hadis Maudlu’i. kriteria tentang hadis maudlu’I berbeda dengan tafsir maudlu’I yang mempunyai batasa batasan yang jelas. Tapi hadis maudlu’I lebih tepat mengetengahkan hadis hadis yang berkaitan dengan satu tema tanpa batasan yang ketat.
5.Takhrij Hadis.pada materi ini diajarkan bagaimana cara mentakhrij hadis dari smber sumbernya.
6.Ilmu Rijal Al-Hadis. Pada materi ini dikaji para perawi hadis, baikyang masyhur maupun yang tidak tsiqah (adl-Dhu’afa’ wal Matrukun)
7.Dirasat Kutub Al-Hadis. Yang dikaji adalah kitab kitab hadis yang masyhur seperti al-kutub as-sittah.
8.Syubuhat haulal Hadis. Maksudnya adalah lontaran sinis terhadap hadis baik dari kalangan kaum muslimin sendiri atau dari kalangan orientalis.
9.Naqdul Hadis. yang dimaksud dengan materi ini adalah bagaimana cara menilai satu hadis dari berbagai macam sudut pandang. Materi ini diajarkan pada semester akhir.

Tahqiq Makhthuthat.
Ada satu kecenderungan yang belum mendapatkan perhatiandari praktisi perguruan tinggi islam di Indonesia yaitu perihal tahqiq al-makhthuthat atau menulis kembali manuskrip kuno, menganalisa dan memberikan komentar terhadapna. Padahal persoalan ini mendapatkan perhatian yang cukup besar dan serius oleh perguruan tinggi di dunia timur dan barat. Koleksi manuskrip di perpustakaan negara barat dan negara arab cukup banyak. Banyak buku buku bibliograpi yang menginformasikan keberadaan manuskrip pada pustaka di timur dan barat. Khazanah intelektual islam masih banyak yang masih berupa makhthuthah yang memerlukan kajian yang mendalam dan menerbitkannya. Pada saat in nama nama makhthuthah sudah bisa diakses melalui nternet, sebagaimana ang dlakukanoleh Universitas AlAzhar d Mesir. Untuk itu perlu difikirkan mnculnya lembaga yang menangani mas’alah ini dengan membuka kerjasama dengan lembaga di luar negeri.
Refferensi.
Refferensi yang dibutuhkan untuk untuk menunjang kesuksesan program studi Tafsir-Hadis baik yang berupa pustaka manual biasa taupun elektronik. Untuk menunjang keaktifan mahasiswa dalam optimalisasi kepustakan, maka maka diperlukan bimbingan bagaimana mengakses kepustakan.
Penutup.
Sebelum penulis mengakhiri tulisan ini ada beberapa usul yang bisa dipetimbangkan yaitu :
Prtama : dibentuk “Forum kajian Tafsir-Hadis” dan menerbitkan jurnal yang terkait dengan forum ini. Annual Conference yang diadakan oleh UIN Pekanbaru baru baru ini bisa dijadikan ajang untuk bertemunya ahli ahli dalam kedua bidang tersebut. Namun akan lebih bagus jika tema tema dalam Annual Conference sudah ditentukan sebelumnya.
Kedua : mahasiswa di UIN ada baiknya dimasukkan dalam pesantren yang didalamnya ada kegiatan kegiatan yang menunjang terlaksananya tujuan dari prodi yang ada.
Terakhir, mudah mudahan tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua.




Jakarta, 12 Desember 2007.

___________
Makalah ini disampaikan pada acara “Pelatihan Pengelolaan Kelas Internasional Bagi Dosen Tafsir-Hadis Dan Pimpinan Fak.Ushuludin di UIN Pekanbaru, yang diadakan oleh UIN Pekanbaru pada tanggal 12 s/d 15 Desember 2007.
(*) Penulis adalah salah satu angauta Dewan Pakar di Pusat Studi Al-Qur’an Jakarta pimpinan Prof.Dr. Quraisy Syihab dan Rektor Institut lm Al-Qur’an jakarta.